Mengapa Keperdulian Menjadi Langka?

Tentang Altruisme

Daplong Karbohidrat
4 min readApr 22, 2024

Pernahkah anda berpikir jauh lebih mendalam tentang seberapa kayanya negeri kita? Mengapa negara yang Tuhan pun tersenyum saat menciptanya menjadi bobrok tak karuan di tangan para borjuis dan proletar sekarang? Emas yang Dia berikan kemana perginya? Bahasan kali ini akan menyinggung permasalahan yang jauh lebih luas dan kompleks dari sekedar konyol komedi hidup anda. Ini akan menyangkut kepentingan banyak orang dan membutuhkan konsensus komunal. Vinyl kita berada pada “Chained to the Rhythm” oleh Katy Perry.

Are we crazy? Living our lives through a lens. Trapped in our white-picket fence like ornaments.

Photo by Muhammad Muzamil on Unsplash

Pernah mendengar kekata “Ujian terberat adalah kemudahan dan kesenangan”? Dia mengetahui bahwa kesenangan kita akan mematikan mata hati dan empati. Sebaliknya, duhai … Anda merasa paling tersakiti ketika kemelut sepi menggerogoti tengkuk telanjang anda — yang padahal anda memang terlalu terbiasa ber-”bersih tangan”, hanya menyuruh. Pernahkah anda merasa relevan dengan hal tersebut? Di saat kita bersusah hati, di situ kita baru wawas diri. “Seronok betul ya hidup orang, bak pakai mahkota saja.” bukannya kerap muncul saat kita sedang bersusah hati? Harapan akan empati itu muncul saat sedih saja, ya?

Lihatlah sekeliling anda! Lihatlah bagaimana negeri ini terbangun dengan alam dan orang-orangnya! Seberapa major hubungan antara agen hidup dan agen mati dalam lingkup ruang senusantara ini? Negara kita sungguh kaya akan sumber daya alam dan hayati. Hutan yang rindang dengan wangi tanah basah. Bunga warna-warni dengan hewan-hewan kecil di atasnya. dulu.

Ya ya ya, hutan besok jadi mitos saja. Amboi, cari bau tanah malah kampas kopling awak cium. Hewan warna-warni tadi dimakan orang yang legam hatinya. Hidup dia sedih betul, ya? Pasti terlampau kelaparan, patutlah dia makan apa saja.

Jadi, ini “keseimbangan alam”? Tak tampak jelas kompensasinya, hanya konsekuensinya saja?

Negara dengan SDM baik rasanya tak banyak punya SDA. Sebaliknya, negara dengan SDA melimpah, SDMnya … “harap maklum, ya”. Dengan segala kemudahan dan gemerlap yang kita punya, cahayanya terlampau silau. Kita menjadi buta, bodoh, malas, bengis dan tak empatis. Orang berjuang untuk dirinya saja. Terlampau sulit pikirkan perspektif orang lain.

Lahirnya Siddharta

Demikian bahagianya Tuanku mendapati putranya lahir. Namun, ramalan terhadap sang putra menghinggapi mimpinya di malam hari seperti suara Tithonus yang letih tak mati-mati akibat doa keabadian Eos — dia adalah jangkrik. “Astaga, siapa akan mewarisi tahta ini jika bukan putraku? Kan ku buat dia sentiasa seronok berada di sini.” Demikianlah Tuan memberikan gemerlap dunia pada sang putra. “Jangan biarkan Pangeran tahu kotor di balik tembok istana!”

Kejutan! Pangeran akhirnya mafhum keadaan di sana. Hanyut tenggelam dirinya mengingat ingar-bingar keberlimpahan surga kecil istananya— sebegitu kecil, tak tampak bahwa dia menikmatinya sendirian — berbanding terbalik dengan sakit dan susah yang jadi makanan pokok dari pemilik badan-badan kurus di sebalik tembok bengis istana.

Bukankah anda pernah setidaknya sekali mendengar kisahnya? Kisah yang begitu menggugah. Tidak, kita tidak hanya berfokus pada transformasi luar biasa dari sang pendiri Buddhisme. Lucu agaknya mengetahui bahwa empati bisa begitu eksklusif. Apakah keperdulian hanya ada pada orang-orang terpilih saja? Sang Buddha saja, ya, yang bisa demikian tersentuh dan akhirnya memulai perjalanannya menemukan makna absolut?

Dalam kehidupan sehari-hari agaknya memang benar. Tercermin bahwa dalam negeri kita, empati menjadi perak yang tidak berguna. Satu sisi, orang mungkin bisa melihat kesusahan orang lain, tapi bermasa bodoh bak angin lalu. Di sisi lain, orang merasa menjadi pribadi yang paling tersakiti, hati tidak sempat berempati karena terlampau lelah menangis lepas kehilangan uang yang semula untuk membelanja jam tangan baru.

Mental

Lalu, mengapa demikian? Mengapa sulit bagi kita untuk mengejawantahkan keperdulian kita?

Terlalu, sempit agaknya. Kehidupan sekarang membuat relung organisme intelek seperti kita menjadi demikian sempit dan kecil. Kita berbahagia dengan hal-hal yang mengindahkan prinsip ekonomis — modal sekecil mungkin, dapat sebanyak mungkin. Betulan, kali ini. “Awak bahagia karena dapat santai, awak tau semua akan baik-baik saja.” Lalu, saat pikiran kecil kita terbuai akan imajinasi bahwa kita akan baik saja, kita kehilangan kesempatan untuk berkembang. Jatuh akan sakit ketika kita terbang terlalu tinggi.

It is my desire
Break down the walls to connect, inspire
Ayy, up in your high place, liars
Time is ticking for the empire

Kita menjadi mudah putus asa. Sakit, demikian sakit sehingga daripada bersusah-susah mengevaluasi diri, tinggal semarakan saja, “Dunia ini salah, semua adalah kejahatan.” Ini adalah agen kita: Putus asa. Terlalu sibuk merasa diri paling sakit, tak sempat melihat kesakitan yang lain. Jangan khawatir, ini fisiologis.

Babad negeri kita: sungai nun flamboyan dalam upaya tak sia-sianya untuk mencium bibir pantai. Dewasa negeri kita: sungai nun tengik dalam upaya payahnya hidari bunganan septic tank.

Benar bukan? Agaknya terlalu sibuk kita pikirkan urusan parfum dan kosmetik, sampai … amboi anda tahu di mana membuang pembalut tidak? Jangankan wawasan ekologis atau empati global, teman sendiri pun kita tidak pernah pikirkan sakitnya, kan? Terlalu sibuk kita, terlalu tak berdaya.

The truth they feed is feeble
As so many times before
The greed of all the people
They stumbling and fumbling
And we about to riot
They woke up, they woke up the lions

--

--

Daplong Karbohidrat

Saya satu dibanding ratusan juta. Saya bukan pemeran utama. Kosong dan memang demikianlah terus. Tak ada yang abadi. Tak ada yang terus bergemintang.