Emosi dan Relevansinya

Sebuah Abstrak pada Horizon Uniknya Makhluk Fana

Daplong Karbohidrat
5 min readSep 21, 2024

Sebuah tragedi, kengerian pembunuhan itu terjadi spontan, begitu saja. Hubungan yang retak antar sepasang kekasih kini hanya bersisa penyesalan yang akan dibawa mati oleh sang pria. Tangannya bersimbah darah. Sebuah usaha mati-matian ia lakukan untuk sekadar terduduk tegak di tengah gempur pilu dan nestapanya. Sebuah pisau tergeletak di sampingnya — bersama seonggok manusia yang tampaknya tidak akan bergerak lagi, juga bersimbah sarah — adalah saksi bisu jika tidak mau dikata bukti utama kasus pembunuhan akibat hilangnya kontrol terhadap apa yang kita sebut emosi. Kini di tengah riuh sesal sang Suami — sedih hatinya — juga dilanda bingung. Mengapa ia lakukan demikian hanya karena pertengkaran biasa(?).

Di sisi lain, motherhoood. Dikisahkan oleh sebuah lagu yang dinyanyikan Virgiawan Listanto, sedikit penggambaran bagaimana seorang Ibu dengan segenap pengorbanannya. Bagaimana sosok manusia bisa menafikan segala letih, lelah, sakitnya hanya karena sebuah harap “anakku akan bahagia dan hidupku untuknya”. Oh, Tuhan, sebuah epos ‘ku persembahkan untuk Ibuku tercinta. Mari putar vinylnya, “Mak” oleh Iwan Fals.

Terngiang jelas permintaan putra putrinya yang tak mungkin bisa terkabulkan
Si Ibu bingung harus bagaimana, Si Ibu bingung harus bagaimana
Menangis dia

Photo by Nik on Unsplash

Berlama-lama para ilmuan berusaha mendefinisikan apa itu emosi dan apakah mereka memiliki klasifikasi tertentu. Emosi , walaupun belum memiliki definisi yang konkret dan terkuantifikasi, setidaknya tergambar sebagai suatu metodologi berpikir. Sebuah tendensi bagaimana tubuh kita menyikapi stimulus eksternal yang “berkesan”. Kesan yang datang pun bisa menjadi majemuk, demikianlah sulit agaknya menentukan “Apakah terdapat emosi yang bersifat primer?”, seperti warna, yang membuatnya tertentu dan rigid.

Terdapat suatu aliran yang mengklasifikasikan emosi menjadi golongan-golongan tertentu: Amarah, Sedih, Takut, Nikmat, Cinta, Terkejut, Jengkel, Malu. Kita akan membahas setiap esensi dari emosi-emosi ini dan mengapa ia menjadi relevan terhadap kehidupan kontemporer kita.

PRIAMBUL

Dalam kacamata teleologis, otak memegang segala macam fungsi “berpikir” untuk menuju pada keadaan paling stabil tubuh. Sebagaimana senyawa kimia berusaha stabil dengan menempati bentuk dengan energi paling rendahnya, otak memegang prinsip yang sama — bahkan sejagat raya ini sebetulnya memegang prinsip tersebut.

Dalam histori evolusioner panjangnya — yang bentuk legasinya sedang kita nikmati sekarang — otak berkembang dari bagian yang paling rendah hingga yang paling tinggi. Batang otak berkembang paling dini, mulai dari medulla oblongata, terus hingga struktur pemegang fungsi eksekutif: neokorteks mulai eksis. Hierarki pembentukan fungsi ini sejalan dengan tanggung jawab yang dipegangnya. Bagian paling dasar cenderung menjadi sentra dari fungsi yang paling primer, demikian seterusnya, sejalan dengan kehidupan yang kompleks, otak berkembang hingga tersedialah struktur pemegang fungsi yang paling tersier.

Perhatikan bagaimana sifat dari konsekuensi penempatan struktur ini, bagian yang paling jauh dari pusat tubuh memiliki kerja yang paling disadari. Bagian yang paling bawah memiliki kerja yang paling raib kesadarannya. Hal ini seolah menyiratkan: bagian paling bawah adalah bagian paling “senior” karena kerjanya yang sudah sangat otomatis dan terhabituasi.

Emosi sangat kuat dikaitkan dengan gugus sistem limbik otak kita. Otak mamalia ini eksis lebih dulu ketimbang otak rasional kita, sebuah perspektif bahwa rasio memang mengisi daftar hadir kehidupan jauh paska emosi telah menjadi pekerja tetap.

Emosi, secara etimologis terdiri atas “e-” + “movere” yang artinya bergerak menjauh/keluar/pergi. Emosi sebagai penghadir suatu alasan, mengapa kita harus melakukan sesuatu. Sebuah motivasi untuk bertindak, dorongan untuk bersikap. Dalam berpikir, upaya paling logis pun senantiasa menghadirkan emosi, ini karena fungsinya yang memberikan dorongan, bukan hanya alasan.

BAHASAN

  • Amarah

“Sosok” emosi paling frontal agaknya. Amarah adalah kelompok atau golongan yang di dalamnya teridentifikasi sifat beringas, mengamuk, marah, keras, atau apa-apa yang menyerupainya. Amarah muncul diiringi dengan rilisnya segala peningkatan fungsi fisiologis dari tubuh. Dengan sudut pandang historis, amarah adalah sebuah manifestasi usaha tubuh untuk menyingkirkan suatu tantangan ataupun ancaman yang muncul kepada kita. Amarah membantu kita fokus pada satu hal yang betul-betul berpotensi mengancam kehidupan kita. Walaupun tindakannya bisa saja irrasional, tetapi fungsi yang tercerminkan pada saat emosi ini tergugah menyiratkan tujuan umum: hancurkan tantangan itu.

Mata yang memicing membantu kita untuk fokus pada satu objek untuk dilihat. Aliran darah ke wajah membuat kita terlihat lebih mengintimidasi. Gerakan-gerakan menyentak bisa terjadi karena fungsi metabolisme yang sedang tinggi-tingginya, membuat kita lebih siap untuk menghancurkan si pembuat masalah itu. Amarah membantu para nenek moyang kita menghancurkan segenap tantangan yang menghambat pertumbuhan populasinya.

Amarah bisa muncul karena frustrasi. Frustrasi karena ketakmampuan kita melakukan sesuatu. Demikian, tubuh menaikkan fokus dan faalnya untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

  • Sedih

Sedih adalah golongan emosi yang sungguh ingin dihindari oleh setiap makhluk. Sedih mencerminkan kelemahan karena menggambarkan sikap ketakmandirian atau ketergantungan terhadap sesuatu. Keterikatan makhluk terhadap makhluk lainnya membuat adanya kesan “melebur” — ketika anda mencintai seseorang, anda akan bertindak tanduk selayaknya yang disukainya. Anda mencintai Tuhan, maka anda akan belajar menyukai apa yang disukainya — sehingga segala sakit-senang akan dirasa bersama. Sedih; pedih, muram, suram, melankolis, putus asa, adalah karakter selayaknya horizon warna “biru” pada luas kanvas emosi.

Sedih membuat anda kehilangan gairah untuk beraktivitas, kehilangan cita rasa dalam hidup, kehilangan minat untuk bekerja, rasanya “ada yang hilang”. Emosi ini menggambarkan kelemahan makhluk yang hidupnya kental dengan hubungan sosial: makhluk yang hidup berkoloni. Sedih agaknya mencerminkan adanya “kesatuan” dari individu-individu ini. Mereka yang hidupnya mengandalkan besar biomassa komunal sebagai metode untuk bertahan hidup akan memiliki emosi sedih yang sangat kentara.

Sedih sungguh telah banyak menyelamatkan nyawa nenek moyang kita. Kesedihan membuat seseorang bertahan di dalam sarang lebih lama, mengevaluasi diri, menghemat simpanan pangan, dan lain sebagainya. Ini sebuah populasi mengadakan program berpuasa, di samping adanya depresi secara psikologis dan kepayahan hati.

  • Takut

Sudah jelas nampaknya. Takut membuat seseorang lebih waspada. Takut membuat orang ragu melakukan sesuatu karena hal tersebut berpotensi membahayakan, mulai dari mengancam nyawa, maupun hal-hal yang lebih abstrak dan modern: harga diri. Hal ini membuat takut tetap relevan di kehidupan modern. Gen kita — yang diwariskan dari nenek moyang dari jutaan tahun lalu — masih mengeksiskan hal ini, bahkan mungkin meningkatkannya. Membuat dari generasi ke generasi, umat manusia menjadi kumpulan orang penakut (jika tidak mau disebut pecundang).

Seseorang yang sedang dilanda ketakutan akan tampak melindungi bagian vital tubuhnya. Tangan yang diletakkan di depan dada, kaki yang sedikit tertekuk, bergerak perlahan seolah akan ada predator yang akan mencabik-cabiknya. Pandangan orang yang sedang ketakutan begitu waspada, thingak-thinguk, mondar-mandir, mencari sesuatu yang tak ada.

Anda tidak takut sendirian di dalam gelap. Anda takut bahwa anda tidak sendirian di dalam gelap.

Vinyl kita berada pada ujungnya.

Si ibu tersenyum, si ibu tersenyum
Melihat keluarganya kembali seperti semula
Walau hati si ibu amat tersiksa

Demikianlah mengapa emosi senan’ relevan dalam kehidupan kontemporer. Itulah mengapa genetik kita masih mempertahankan emosi sebagai pendahulu proses mental lainnya. Emosi dipertahankan dan memang muncul lebih dahulu dalam proses berpikir. Bahkan dalam proses justifikasi dan penilaian, anda akan menyukai sesuatu terlebih dahulu, baru melogisnya. Artinya kita bukan mencari kebenaran dari suatu hal untuk kemudian menilainya, melainkan menilai sesuatu terlebih dahulu, lalu mencari pembenaran dalam prosesnya.

Mari renungkan Nikmat, Cinta, Terkejut, Jengkel, dan Malu. Mengapa mereka relevan?

--

--

Daplong Karbohidrat

Saya satu dibanding ratusan juta. Saya bukan pemeran utama. Kosong dan memang demikianlah terus. Tak ada yang abadi. Tak ada yang terus bergemintang.