Bagaimana Mengadili Kriminalitas dengan Latar Belakang Dendam?

Tentang Dilema Hukum

Daplong Karbohidrat
5 min readJul 12, 2024

Putarkan vinyl pada “Berita Kehilangan” oleh .feast. Apakah salah bagi kita untuk mengadili suatu tindak kejahatan? Secara tindak retributif juga salah satu pilar dari keadilan, bukankah kita berhak untuk menuntaskan apa-apa tindak perampasan hak yang dilakukan terhadap kita? Mengapa membunuh seorang pembunuh dianggap salah padahal Tuhanpun akan menyiksa para biadab tengik itu berulang kali di Neraka-Nya? Selamat datang, kawan. Kita akan berkontemplasi di sini.

Photo by Florian Olivo on Unsplash

Badanku terkujur kaku
Bentuk malang melintang
Tertutup mataku namun cahaya semakin terang
Jiwaku mengambang tinggi terus melayang-layang
Nyawaku dirampas namun kita yang jaya perang

Dalam horizon kriminologi, kejahatan terpajan melalui tindakan-tindakan yang merampas atau mengurangi hak dari orang lain — membuat orang lain lebih tidak hidup. Namun, sebelum berjauh-jauh membahas tindakan, kita akan pusatkan perhatian pada motif. Bagaimana suatu kejahatan bisa tergagas?

  • Motif bertahan hidup

Sebuah latar belakang yang klasik. Mau bagaimana? Alam dan paradigma sosial bekerja demikian cepat, mendorong mereka, kelompok dengan kekuatan lebih kecil, tertatih-tatih mengupayakan penghidupan yang lebih layak — dengan cara apapun. Mereka terpaksa karena itulah yang mereka pahami mereka bisa. Tindakan spontan, tanpa modal besar, kontan pula hasil didapat.

Orang-orang di sini berbias. Mereka mungkin saja tidak akan melakukan aksinya tanpa ada satu kondisi yang mendorong mereka pada batasnya. Mereka tak memilih korban berdasarkan sentimen pribadi atau ketegangan yang menjadi kelumrahan interaksi sosial — ya … bisa saja sih. Catatan-catatan terkait viktimologi pada horizon ini mungkin sangat pendek. Peran dari korban terhadap tindak kejahatan yang pelaku eksekusi sangat minimal. “Dia cukup kaya, dia tak cukup waspada” itu saja andil korban. Mereka hanya udik, jiwa polos yang berusaha hidup walau ternistakan oleh dinginnya dunia.

Kasus untuk dipertanyakan: Seorang tunasusila dianiaya oleh konsumennya. Apakah peristiwa tersebut viktimal atau kriminal?

  • Motif kekuasaan

Ahh … favorit Penulis. Pelaku-pelakunya sangat andal. Parasit yang sangat oportunistik. Bukan sekadar karena tercipta peluang yang datang spontan, mereka menciptakan peluang mereka sendiri! Luar biasa bukan? Pelaku pada horizon ini melakukan tindak kejahatan karena ketakutan mereka sendiri. Kaum pengecut yang takut sedikit kuasanya hilang. Para pandir yang cukup intelek untuk melupa moral. Mereka adalah perwujudan sang Mammon karena haus tak tertahankan akan tahta membuta hati mereka.

Bagaimana dengan peran korban pada kejahatan mereka? Apakah para korban memiliki andil besar pada apa yang mereka lakukan? Sedihnya … tidak. Korban acap waktu tidak ikut andil dalam terciptanya kejahatan. Bahkan sebaliknya, mereka tidak tahu sedang dijahati. Terbuai dalam drama musikal yang merekayasa apa yang tampak dan membuang semua barang bukti.

Berbicara pasal drama musikal, Penulis merekomendasikan tontonan drama yang luar biasa indah karya teman-teman Penulis:
https://youtu.be/gaKu3ccUJ0I?si=5zRlm0GdQH8ThgPX
https://youtu.be/AOe-nH9nbP4?si=1-oOvzNwn8_mHS8r

  • Motif dendam

Ini adalah kasus yang unik. Berbeda dengan dua motif kejahatan yang kita bahas sebelumnya. Motif kali ini, victim atau korban memiliki andil yang cukup besar. Bahkan, penggagas dari tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku adalah apa-apa yang dilakukan oleh korban. Kejahatan ini tidak spontan. Apa artinya? Pelaku berhasil mengumpulkan cukup bukti dalam kepala kriminalnya yang membuat kesimpulan: “saya harus membalasnya sendiri” menjadi pilihan yang relevan. Mungkin karena jiwa kasih-dan-maaf — terkait kecerdasan emosional — yang rendah, skeptis pada lembaga yudikatif yang lahir dari perjanjian sosial, atau sekedar induksi akibat paparan lingkungan.

Beberapa kasus kriminalitas — atau mungkin viktimalitas — sangat sensasional: Anak yang membunuh pemerkosa ibunya, bapak yang membunuh pembunuh anaknya, atau seorang antihero yang membunuh para korup. Bahkan acap kali masyarakat justru mendukung aksi para kriminal ini. Mereka menganggap bahwa aksi yang dilakukan oleh pelaku adalah yang cukup tepat atau relevan terhadap keadaan yang menimpa.

Apakah anda pernah menonton film atau berita yang senada dengan bahasan kita?

Lalu, bagaimana menindak masing-masing kejahatan? Vinyl kita masih berputar dengan anggunnya.

Takkan ada kedamaian di hidupmu
Takkan ada ketenteraman di kamarmu
Takkan ada keberlanjutan namamu
Takkan ada kedamaian di surgamu

Kriminalitas yang teridentifikasi dengan motif yang sudah kita bahas memiliki karakteristik peradilannya masing-masing. Kasus akibat motif bertahan hidup terkesan jauh lebih mudah ditoleransi. Terpaksa, sang pelaku walaupun memang proaktif terhadap tindakan kejahatan, latar belakang kejahatannya lebih mudah terekonsiliasi. Proses pengadilan pun lebih berfokus pada tindak restoratif — demikian, terdapat pula tindak retributifnya.

Kriminalitas pada motif kuasa jauh lebih sulit. Bukan pada kecacatan idealitas bahwa tindak retributif memang harus ditekankan dan pelaku harus dihukum sepantas-pantasnya. Melainkan dari praktiknya, proses penindakan kasus itu sendiri. Di lapangan, pada pelaku bahkan lebih berkuasa daripada para penindak hukum. Terdengar tidak asing bukan? Memang seperti itulah adanya. Para perlenteh yang parlente — si jahat yang tampak manis — sangat hebat dalam mengonstruksi panggungnya.

Sekarang, bagaimana dengan motif dendam? Oh kawan. Dalam kacamata moral, kita perlu membahas setiap tindakan manusia secara komprehensif. Mulai dari tindakan itu sendiri, apakah sesuai dengan norma-norma sosial? Kajian ini dibahas oleh paham deontologi. Mereka menyatakan bahwa tindakan benas atau salah, adalah berdasarkan kesepakatan atau norma sosial yang berlaku pada waktu dan tempat tertentu. Seorang pembunuh adalah salah dan berdosa, walaupun ia membunuh banyak bandit yang lebih hina. Ini menjadi masalah, karena lembaga yudikatif yang kita tahu, acap bergerak dengan asas seorang deontolog.

Lalu, konsekuensialis. Tindakan seseorang adalah benar atau salah, bukan pada bagaimana eksekusinya, melaikan bagaimana hasilnya. Seseorang pembunuh yang membunuh 1000 pembunuh adalah seorang pahlawan. Thanos adalah seorang pahlawan karena membunuh setengah untuk mencipta hidup lebih indah pada yang tersisa. Sebuah bentrok pada kompas moral manusia. Mana yang benar?

Seseorang yang melakukan kejahatan dengan motif dendam, mungkin adalah penganut konsekuensialis di samping untuk menuntaskan dan memuaskan hasrat balas dendamnya. Nafsunya untuk melihat kehancuran musuh, korban yang sesungguhnya adalah sang pembawa masalah. Vinyl kita sudah pada ekornya.

Di dalam hidup ada saat untuk berhati-hati
Di dalam hidup ada saat untuk berhati-hati

Bukankah sungguh menderita mereka yang tenggelam dalam dendam? Mereka tidak mungkin memanfaatkan lembaga peradilan karena landasan moral yang dianut memanglah berbeda. Apa yang harus mereka lakukan? Menunggu Tuhan membalas di domain akhiratnya yang raib? — Neraka. Tapi, tunggu dulu? Apakah Tuhan adalah menganut salah satu paham moral yang kita bicarakan tadi? Apakah dia bertendensi? Yang kita tahu, Dia Maha. Dia Mahaadil.

Semoga ditenangkan mereka, lekas padam dendamnya.
Semoga ada cukup sejuk di dunia, untuk mereda api di hatinya.
Ataukan justru sebaliknya?
Duhai hati yang terlampau beku.
Semoga Tuhan membebaskanmu.

--

--

Daplong Karbohidrat

Saya satu dibanding ratusan juta. Saya bukan pemeran utama. Kosong dan memang demikianlah terus. Tak ada yang abadi. Tak ada yang terus bergemintang.